Meletakkan Garis Finish
Hari ini 11 September 2022, atau tepat 70 hari lagi menuju hari yang bahagia itu. Waktu ku yang semakin sedikit meletakkan ku pada sebuah ruang evaluasi diri yang akhirnya perlu untuk kembali menata diri dan menyusun mimpi.
10 bulan sudah aku berada di Jepang dan hari-hari ini berlalu begitu cepat, walaupun aku sudah menghitungnya. Ya aku beberapa minggu yang lalu, terus menerus menghitung waktu ku yang tersisa disini. Sayangnya, proses menghitung yang awalnya dibuat untuk membuat aku lebih menghargai waktu dan mengetahui seberapa cepat aku harus belari menuju garis finish malah menjadi sebuah boomerang. Penghitung hari tersebut kini menjadi jam pasir, yang aku sangat inginkan pasir nya habis. Tidak lain karena memang aku tidak bisa menikmati kembali keberadaan aku disini dan begitu pula yang mungkin orang-orang terdekatku rasakan. Hingga orang yang aku inginkan merasakan bahwa aku menghitung karena aku ingin dia mengetahui betapa aku ingin hidup bersamanya pun malah merasa iba. Iba terhadap terpenjaranya aku di negri ini.
Dinamika kehidupan kali ini menyadarkan aku betapa tidak bersyukur diri ini. Aku yang kemudian tersadar, akhirnya meletakkan jam pasir tersebut didalam laci, dan berusaha untuk menikmati waktu yang ada. Tanpa tersadar aku pun akhirnya kehilangan tujuan, lagi, yang berimplikasi pada melemahnya performa dari diri ini. Keadaan melemahnya diri memang tidak bisa dilepaskan dari manusia itu sendiri. Hingga kemudian Allah, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia, dengan segala keagungan dan kasih yang Ia miliki mengingatkanku.
Sebagaimana seorang pelaut yang berlayar, ia hanya akan dapat bertahan di tengah laut ketika ia tau kemana tempat yang akan ia tuju dengan kondisi yang ia miliki. Allah mengingatkan aku akan betapa pentingnya mengetahui tujuan bagi aku. Aku tersadar, juga oleh kata-kata dari dia, bahwa selama ini mungkin tujuan aku salah. Beberapa waktu terakhir ini, aku meletakkan "Menikah", sebuah proses yang anggap sebagai perayaan dari rasa cinta, sebagai tujuan. Karena itu adalah tujuan aku, aku merasa bahwa segala hal yang ada dan tidak berkaitan dengan tujuan tersebut menjadi suau hal yang tidak penting. Tentu, begitu pula ketika seorang pendaki tau tujuan yang akan dia capai adalah puncak dan waktu dia terbatas, air terjun atau pun sungai nan elok yang ada di sebrang lembah tidak akan disinggahi. Perasaan ini yang kemudian menjadikan aku sama sekali tidak menikmati segala proses yang ada dan hanya berfokus pada apa yang akan bermanfaat untuk kehidupan setelah menikah nanti.
Membuktikan bahwa roda kehidupan itu berputar, aku jadi teringat hal yang sama akan beberapa saat sebelumnya dimana aku meletakkan "Pergi ke Jepang" menjadi tujuan hidup aku. Tepat seperti saat ini, aku pun tidak menikmati kehidupan aku kala itu di Cisitu dan di Cihampelas. Walaupun, kali ini aku sadar betapa nikmatnya hidup aku saat itu bisa menikmati nasi goreng dipinggir jalan, makan sambal bawang setiap malam kamis, dan berbincang dengan ibu warteg setelah shalat magrib. Terlihat begitu sederhana namun bahagia, bergantung dari perspektif keadaan kita pada saat itu. Perasaan terlalu menginginkan untuk sampai ke tujuan juga aku alami sebelumnya, saat ingin lulus, saat ingin sampai ke puncak Mahameru, saat ingin masuk ITB, dan lain-lain. Dan rupanya semua tujuan tersebut, walaupun Biidznillah terwujud, dalam prosesnya aku menyadari tidak ada yang sempurna.
Rupanya kita sebagai seorang manusia harus meletakkan garis finish kita dengan sangat tepat. Pada hari ini, Ust. Fathul Ikhsan menjadi pengingatku akan bagaimana Allah telah memberi tahu bagaimana seharusnya seorang muslim meletakkan tujuan tersebut.
۞ وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍۢ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَـٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa". [3:133]
Ya, dalam ayat ini aku tersadar bahwa hendaknya kita meletakkan "Surga" menjadi tujuan yang sebener-benarnya tujuan. Kita seringkali berkata bahwa apa tujuan kita, dan dengan gampangnya kita , atau setidaknya aku, mengatakan "Surga" tanpa memaknai dengan dalam makna meletakkan Surga sebagai tujuan. Padahal tujuan besar ini lah yang seharusnya selalu diingat dalam hati ini. Hal sederhana yang kemudian membuat aku teringat adalah aku sering membuat perhitungan waktu dengan apa yang akan ada didepan ku, mulai dari bulan hingga menghitung hari. Tapi betul bahwa tidak pernah kita menghitung berapa hari lagi menuju Surga itu, karena aku juga tidak tahu kapan kita akan mencapainya. Tapi bukan kah itu keindahan dari menempatkan "Ridho Allah" dan "Surga" sebagai tujuan. Tujuan yang kita tidak tahu kapan garis finishnya memaksa diri ini untuk memberikan yang terbaik disetiap saat. Seorang pelari akan menambah kecepatannya hanya ketika dekat dengan garis finish. Namun ketika iya tidak mengetahui dimana garis finish itu, bisa jadi sekarang bisa jad esok, tentu ia akan memberikan yang terbaik pada saat itu juga. Dan dengan cara seperti itu pula kita akan menikmati detik tiap detik yang kita lalui.
Mungkin Dia benar, aku seharusnya tidak perlu memperhatikan "jam pasir" tersebut terus menerus. Karena pada akhirnya jam itu akan habis dengan sendirinya. Namun yang kita perlu perhatikan adalah "Jam Nyawa" kita yang menjadi Garis Finish yang sesungguhnya.
Semoga Allah selalu memudahkan kita dan menjaga agar selalu ingat bahwa "Surga" lah tujuan perjalanan ini, dan keindahan-keindahan yang ada di dunia ini hanyalah bonus dalam pendakian ini.
Terimakasih aku ucapkan juga kepada dua orang yang telah mengingatkan aku kali ini, Calon Istriku dan sahabatku, Fathul Ikhsan, sahabat yang aku kelak belajar banyak dari mereka.