Kehidupan : Mengenal Kematian
Sebagai mana kalian tahu, pada setiap bab, saya bercerita soal emosi. dan kali ini izinkan saya bercerita soal bagaimana seorang Alief mengetahui apa itu kematiaan.
Bagiku, kematian adalah sesuatu yang mistis juga horor untuk dibahas atau dipikirkan. Sebagai seorang muslim, saya sudah diajarkan bagaimana hidup seorang manusia tidak ada yang tahu juga dimana dan bagaimana kematian itu akan datang. Dan aku memahami hal tersebut dengan cara yang sulit. 8 Oktober 2014 adalah hari dimana saya mengenal hal tersebut. Hari ini adalah hari yang sama dengan hari-hari yang lainnya. Aku berpamitan dengan Mamah dan berangkat sekolah dan pada sore hari aku berangkat ke tempat les. Jujur saja, tidak ada hari yang berbeda antara hari ini dengan hari-hari lainnya tidak ada firasat, tidak ada apa-apa, hanya sebuah hari yang normal. Aku bukan orang yang percaya bahwa suatu firasat itu ada, pun juga dengan pemahaman ku tentang ruh, setidaknya hingga saat itu. Ruh bagiku adalah sesuatu yang gaib, tidak dapat dipikirkan, tidak masuk diakal, sehingga tidak perlu untuk dipikirkan. Biarkan saja aku tau bahwa hal tersebut ada, dan hal tersebut bisa pula tidak ada.
Pulang les dengan si KW, aku sampai ke rumah dan bertanya kepada Mbak Fatin. "Mbak, mana mamah?" kataku. Dia menjawab "Ada dikamar sedang tidur sore". Tidak ada yang berbeda, memang begitu mamahku. Sering sekali ia berbaring dikamar kadang tertidur, kadang pula hal yang lain. Aku tidak tahu mengapa. Yang aku ingat akan hal itu adalah aku membenci hal itu. Bagiku yang memiliki pola pikir berjuang, bermalas-malasan atau tidur bukanlah hal yang aku suka, baik hal itu terjadi pada diriku atau orang sekitarku. Dan pada saat ini, hal ini yang aku paling benci dari diriku.
Aku berangkat ke masjid pada hari itu. Bukan sebuah kebiasaan tentunya, tapi ntah kenapa aku pada hari itu berangkat ke masjid. Berangkat bersama adikku, yang juga tumbennya, lebih dahulu dari adzan. Aku pada hari itu juga, mencoba mengingatkan adikku bahwa kita harus sering ke masjid. "Bi, ingat yah, kalau kau merasa bingung kembalilah ke masjid, shalat", begitu kataku. Anehnya kata-kata ini tidak juga mengingatkan pada diriku bagaimana harusnya aku bertindak. Iqamah dikumandangkan, aku dan arby berada di shaf ke-3. Masjid itu cukup panjang, dan anehnya masjid ini miring. Jadi shaf awal tidak terlalu menampung banyak shaf. Aku masih ingat dimana aku berdiri, tiga orang disebelah kiri ku sejajar dengan imam, dan Arby disebelah kananku. Shalat ini yang aku anggap sebagai saat terakhir aku bertemu dengan ibu ku, Mamah.
Setelah takbir, aku tidak bisa berhenti meneteskan air mataku hingga shalat itu berakhir. Walaupun, aku terpikir mengenai berbagai hal, tidak sedetik pun aku berpikir soal Mamah. Pada saat itu, begitu lah yang terjadi. Aku hanya mendengar sebuah suara dalam hati ku, Alief, coba kamu bayangkan bagaimana kalau papah tidak ada. Aku berdiskusi dengan suara tersebut didalam hati ku menjawab pertanyaan "Bagaimana kalau papah tidak ada?". Dan seperti biasa pemikiran ku ini mencoba menstrukturisasi, menjawab semua kemungkinan yang terjadi. Aku menjawab dengan pertama aku akan putus sekolah, kembali ke Cikarang, melanjutkan bisnis papah. Apa yang harus dilakukan untuk menghidupi adik dan hal-hal lain. Hal itu aku terus pikirkan pada rakat pertama.
Rakaat kedua, kemudian suara tersebut bertanya pada hati ku. "Bagaimana dengan pendidikan mu? Bagaimana dengan adik-adikmu?", satu hal yang terucap aku tidak peduli dengan bagaimana aku, tapi aku peduli bagaimana adik-adik ku. Ntah hal apa yang melandasi pola pikir ku. Aku selalu berpikir bagaimana cara yang terbaik untuk adikku. Hingga kini pun, aku selalu mencoba mendahulukan adik-adikku. Rakaat ini, terus menerus aku tidak berhenti menangis, rasanya aku ingin berteriak menangis saat itu. Aku ingin sekali menangis tapi tidak bisa karena masih shalat. Aku sama sekali tidak bisa fokus shalat pada saat itu. Dan diakhir rakaat kedua, suara tersebut berkata "Susah bukan?". dan aku menjawab "Yaa, ya itu sangat susah (mah)".
Rakaat ketiga, aku tidak mendengar suara itu bertanya, aku hanya mendengar "Sayangi, sayangi, dan sayangi". Ntah kenapa kini, aku baru menyadari bahwa suara itu mungkin saja mamah. Pada saat itu, aku hanya teringat soal papah dan ibarat kuda perang aku menyiapkan kakiku untuk berlari apabila hal itu terjadi. Dan diakhir rakaat itu aku mendengar kata "Terimakasih". Aku tidak dapat berhenti menangis karena aku sangat takut sekali saat itu. Aku pikir Papah telah tiada. Aku baru berhenti menangis setelah melihat Arby disebelah ku.
Aku bukanlah seorang yang tegar seperti banyak orang mungkin melihatnya. Hati ku ini lemah. Aku cengeng. Pun kini ketika aku menulis cerita ini, banyak hal yang baru aku sadari, dan membuat aku menangis. Salah satunya adalah bagaimana aku tersadar bahwa suara itu adalah mungkin suara mamah atau rahmat Allah kepadaku, hingga akhirnya dari shalat tersebut hingga aku ke rumah sakit dan mamah dinyatakan meninggal.
Oke kembali ke cerita, Aku pulang dan aku terkejut karena Satpam dan Mbak Fatin berteriak kepadaku "Dek, Mamah mu Mamah mu!". Aku tidak ingat aku berlari lebih kencang dari itu. Masuk kekamar dan melihat mamah ku kaku dengan tangan keatas seperti sedang menggapai sesuatu. Aku pada saat itu tak tahu apa itu kematian, bagaimana orang kalau sudah meninggal, dan apa yang harus kulakukan. Aku hanya tau saat itu mamah ku sedang sakit dan aku perlu mencari bantuan. Pada saat itu, semua orang menangis terbujur lemas disebelah Mamah. Dan hanya aku yang tidak menangis, aku sangat mau untuk menangis tapi ntah kenapa tidak bisa. Dalam pikiranku hanya satu, mamah sedang berjuang dan perlu aku bantu. Sesaat itu pula aku pergi keluar, mencari pertolongan. Bodohnya aku malah mencari taksi, maklum saja aku tidak tahu orang meninggal. Singkat cerita, aku dimudahkan oleh Allah SWT mengantar mamah ku ke rumah sakit. Papah pada saat itu adalah orang yang tegas, ia selalu berkata "Kamu tidak tahu apa-apa, hanya dokter yang bisa mengatakan orang sudah meninggal atau belum.". Pada saat itu ada aku dan Dira, Dira tidak berhenti menangis sepanjang perjalanan. Aku terus menerus ditelfon keluarga, tidak ada yang percaya tentu. Saat itu umur mamah hanya 45 tahun, masih muda dan sangat bugar. Tiba dirumah sakit, memang saat itu nyawa mamah sudah tidak tertolong, mungkin sudah sejak Magrib itu lah mamah terakhir kali ada. Disaat itu, semua seperti terjadi dengan cepat. Disamping itu semua kagum dengan keberanian Aku dan Dira, termasuk dokter yang ada disana. Namun, itu semua bukan karena aku. Kalian tau aku bukanlah seorang yang tegar. Namun di shalat magrib pada malam itu, aku sudah terlebih dahulu dipersiapkan oleh Nya. Aku sudah terlebih dahulu dibuat siap dengan segala kemungkinan. Aku sudah terlebih dahulu menangis.
Kemudian, aku tiba di rumah pukul 20.00, sudah banyak orang di rumah. Papah masih dalam perjalanan, tentu dengan seorang teman karena sangat terpukul. Yang aku benar-benar ingat, ada Om Wendy, salah satu teman seperjuangan papah dulu saat di ITB. Beliau lah orang yang pertama yang menanagkan kepada saya, "Mulai dari sini, semua om yang siapkan ya Alief, Kamu sudah sangat luar biasa". Dari situ lah adrenalin ku mulai turun, badan ku lemas. Aku benar-benar sudah tidak bisa menggerakkan tenaga lagi. Satu persatu orang datang, Ibu (tante ku) dan yang lain. Pada saat itu tidak banyak tetangga yang datang (P.S: Alief ingat akan hal ini, carilah lingkungan terbaik). Dari saat itu kami semua dikumpulkan dalam satu kamar. Pukul 21.00, Papah datang. Pada saat itu ia tidak melihat kami, aku yang saat itu ada diluar ingin membantunya. Dia jalan terhuyung lemas. Masuk dan melihat Mamah. Aku saat itu sudah tidak kuat, aku penuh dengan tangis pada saat itu. 22.00 semua tetangga ku dari Cikarang datang. Malam itu, jalan komplek sepi yang sempit itu penuh dengan tetangga kami dari Cikarang. Beginilah ketika ukwah islamiah terjaga, seberapa jauh, seberapa malam pun saat itu, dan itu di hari Rabu, ketika ada saudara yang membutuhkan bantuan saudara (tetangga) akan datang.
Aku khususnya pada saat itu tidak bisa menerima kenyataan, hanya Arby yang pada saat itu tidak pernah menangis. Semuanya sudah lemas tidak ada tenaga. Pukul 23.00 kami memutuskan akan segera membawa Mamah ke Cikarang. Di mobil aku duduk paling belakang. Aku hanya ingin tertidur dan berharap bahwa dunia hanya sedang bercanda. Tapi, hari itu, kematian sudah menyapa kehadiran nya padaku. Salah satu lagu yang saat itu selalu terngiang di kepala ku adalah lagu Let Her Go, "Only know you love her when you let her go". Kami berangkat 10 mobil dari Bandung dengan ambulan.
Papah memberikan sebuah kata terimakasih kepada warga Kelinci 4. Suaranya tidak bisa dibilang tegas, hatinya tegetar aku tau itu. Tapi satu yang aku pelajari bahwa seorang lelaki, seorang ayah, harus menjadi sekuat baja untuk menangkan anak-anaknya. Baru dikemudian hari, aku tau bahwa yang paling berduka bukan lah aku, namun Papah. Bukan aku juga yang nangis paling keras, namun ia. Dan bukan aku pula yang paling kesepian namun ia. Setelahnya, dengan rahmat Allah Alhamdulillah, pemakaman mamah berjalan lancar.
Hari itu aku mengenal apa itu kematian, bagaimana kita sangat dekat dengannya. Namun di hari itu pula aku mengenal arti dari ukhwah islamiah, persaudaraan, aku mengenal arti dari pertolongan, kasih sayang. Betapa banyak diriku terselamatkan setelahnya, ketika teman-teman ku mencoba membantuku. Dan mulai hari itu, aku berjanji kepada zat yang ubun-ubun ku ada digenggamannya, aku akan datang takziah jika ada temanku yang kehilangan orang tuanya jika memungkinkan. Aku tidak akan malas, dan berkata tidak. dan Alhamdulillah hingga tulisan ini tertulis, aku masih menjalankannya.
(63:11) But never will Allah delay a soul when its time has come. And Allah is Acquainted with what you do.
Mah, Alief sayang sama Mamah. Terimakasih untuk segalanya, Semoga Mamah bangga.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ